(email si inem wong ndeso, setelah berkelana di kota)
Kepada yang dirohmati Allah,
Kang Emen
Di Bumi Allah
Assalamualiakum.. wr wb
Kang, Aq tulis surat/email ini, karena Aq nggak berani bertemu dengan
dirimu. Aq juga takut ngobrol langsung denganmu, Kang. Karena Aq
khawatir perasaanku mempengaruhi keputusan yang Aq buat nantinya.
To
the point aja ya, Kang. Setelah kepergianku ke kota dan cukup lama
tidak berinteraksi dengan Akang, Aq disini diinteraksi (diajak ngobrol)
dengan adik-adik mahasiswa. Dari situ, Aq diajak diskusi banyak tentang
Islam, meskipun Aq hanya seorang karyawan pabrik, tapi Aq juga berhak
mengenal Islam dan punya hak untuk mendapatkan hidayah Allah…
Begini
Kang, Aq sekarang aktif di sebuah kelompok kajian Islam. Tapi
sebenarnya bukan karena kelompok itu sendiri, aku menulis surat ini.
Melainkan setelah mempelajari Islam lebih dalam, aku menemukan interaksi
selama ini yang kita lakukan sudah salah kaprah menurut Islam…
Kang, Aq memang sekarang masih baru belajar Islam secara kaffah dan
konsekuensi dari mempelajari Islam, menurutku itu ada 2 hal: yakni
terikat dengan apa yang telah kita pelajari (syariat Islam), dan yang
kedua adalah menyampaikannya kepada orang lain (dakwah).
Dari
yang aku pelajari sampai sekarang ini. Ada dua pelajaran berharga,
pertama: tentang pakaian seorang perempuan (muslimah). Ternyata pakaian
yang syar'i, untuk muslimah adalah Jilbab dan kerudung. Jilbab itu
adalah baju longgar (macam daster) yang menutupi seluruh tubuh perempuan
dari atas (bagian leher) sampai bawah (kaki). Sedangkan Kerudung
(khimar) adalah kain yang digunakan di kepala menjulur sampai ke dada.
Kedua pakaian itu sebenarnya juga telah dijelaskan dalam Al Qur’an.
Aq berharap Akang bisa memahami, kalo Aq sekarang sudah memakai jilbab
dan kerudung seperti yang diperintahkan oleh Islam, bukan diperintahkan
oleh siapapun, termasuk guru ngajiku sekalipun. Sehingga Aq ingin
menjadi muslimah yang sempurna dengan pakaian syar’i yang aku kenakan
sekarang ini, Aq tidak ingin menodai aktivitasku dengan aktivitas yang
melanggar syariat. Apalagi masyarakat disekitar kita juga sangat kejam
memberi penilaian terhadap Islam, terutama wanita-wanita yang berjilbab
tapi aktivitasnya nggak sesuai dengan pakainnya. Aq tidak ingin seperti
itu Kang, berjilbab dan berkerudung tapi melakukan aktivitas maksiat.
Maaf ya Kang…
Kemudian pelajaran kedua Kang, dari hasil kajian
mendalamku tentang Islam, bahwa Islam tidak mengenal istilah Pacaran
alias Islam mengharamkan pacaran. Pacaran yang dimaksud disini adalah
aktivitas memadu kasih (sayang) antar lawan jenis, baik dengan atau
tidak ditambahi aktivitas pegang-pegangan, kiss-kissan, dan sejenisnya,
tapi aktivitas seperti itu tergolong aktivitas “mendekati zina”. Dalam
kitab, An-Nizhâm al-Ijtimâ’i fî al-Islâm, Taqiyuddin an-Nabhani
menerangkan bahwa Islam melarang ber-khalwat antara pria dan wanita,
kecuali wanita itu disertai dengan mahram-nya. Khalwat artinya adalah
bertemunya dua lawan jenis secara menyendiri (al-ijtimâ’ bayna itsnayni
‘ala infirâd) tanpa adanya orang lain selain keduanya di suatu tempat ;
misalnya di rumah atau di tempat sepi yang jauh dari jalan dan keramaian
manusia. Khalwat diharamkan berdasarkan hadis Nabi saw.: “Janganlah
sekali-kali seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita, kecuali
wanita itu disertai dengan mahram-nya (HR al-Bukhari dan Muslim).”
Interaksi pria wanita hendaknya merupakan interaksi umum, bukan
interaksi khusus. Interaksi khusus yang tidak dibolehkan ini misalnya
saling mengunjungi antara pria dan wanita yang bukan mahram-nya (semisal
“apel” dalam kegiatan pacaran), atau pria dan wanita pergi bertamasya
bersama.
Karena dengan pengaturan seperti diatas merupakan Obat Mujarab bagi Penyakit Sosial
yaitu interaksi atau pergaulan antara pria dan wanita yang rusak, yakni telah keluar dari
ketentuan syariah Islam. Penyakit sosial ini tak hanya ada di
masyarakat Barat (AS dan Eropa), tetapi juga di masyarakat Dunia Islam
yang bertaklid kepada Barat. Penyakit masyarakat ini misalnya pelecehan
seksual, seks bebas, perkosaan, hamil di luar nikah, aborsi, penyakit
menular seksual (AIDS dll), prostitusi, homoseksualisme, lesbianisme,
perdagangan wanita, dan sebagainya. (Thabib, 2003: 401-dst).
Pada tahun 1975 Universitas Cornell AS mengadakan survei mengenai
pelecehan seksual (sexual harassement) bagi wanita karir di tempat
kerja. Ternyata sejumlah 56% wanita karir di AS mengalami pelecehan
seksual pada saat berkerja. Di AS, sebanyak 21% remaja putri AS telah
kehilangan keperawanan pada umur 14 tahun, dan satu dari delapan remaja
putri kulit putih AS (7,12 %) tidak perawan lagi pada umur 20 tahun
(Abdul Ghani, 2004). Satu dari sepuluh remaja putri AS (berumur 15-19
tahun) telah hamil di luar nikah dan satu dari lima remaja puteri AS
telah melakukan hubungan seksual di luar nikah. (Andrew Saphiro, We’re
Number One, h.18; dalam Abdul Ghani, 2004).
Fakta kebobrokan
moral itu tak hanya terjadi di dunia Barat, tetapi juga di Dunia Islam,
termasuk Indonesia. Indonesia yang sekular juga tidak menjadikan syariah
untuk mengatur mengatur interaksi/pergaulan pria dan wanita. Akibatnya
pun sama dengan yang ada di masyarakat Barat, yaitu timbulnya penyakit
sosial yang kronis yang sulit disembuhkan.
RSCM Jakarta setiap
minggunya didatangi 4 hingga 5 orang pasien HIV/AIDS (data tahun 2001).
Kasus aborsi terjadi 2,5 juta pertahun, dan 1,5 juta di antaranya
dilakukan oleh remaja. LSM Plan bekerjasama dengan PKBI (Perkumpulan
Keluarga Berencana Indonesia) pernah meneliti perilaku seks remaja Bogor
tahun 2000. Hasilnya, dari 400-an responden, 98,6% remaja usia 10-18
tahun sudah melakukan apa yang disebut “pacaran”; 50,7% pernah melakukan
cumbuan ringan, 25% pernah melakukan cumbuan berat, dan 6,5% pernah
melakukan hubungan seks. Sebanyak 28 responden (pria dan wanita) telah
melakukan seks bebas, 6 orang dengan penjaja seks, 5 orang dengan teman,
dan 17 orang dengan pacar. (Al-Jawi, 2002: 69)
Data-data ini
menunjukkan, penyakit sosial yang parah juga melanda masyarakat kita,
yang telah mengekor pada masyarakat Barat yang bejat dan tak bermoral.
Sungguh, tidak ada obat yang mujarab untuk penyakit itu, kecuali syariah
Islam, bukan yang lain.
Penyakit sosial yang kronis dapat
diatur dengan cara mengatur kembali interaksi pria wanita secara benar
dengan syariah Islam. Hanya dengan syariah Islam, interaksi pria wanita
dapat diatur secara sehat dan berhasil-guna, yaitu tanpa membangkitkan
hasrat seksual secara ilegal, namun tetap dapat mewujudkan
tolong-menolong di antara kedua lawan jenis untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi masyarakat.
Kang, dari uraian diatas, Aq
berharap Akang bisa mengerti, antara pria dan wanita sangat jelas dalam
islam tidak diperkenankan untuk pacaran, kalo memang Akang sudah siap
menikah, sudah mengkhitbah (melamar) wanita, baru Akang bisa berhubungan
dengan wanita tersebut untuk mengenal lebih jauh (ta’aruf)
Akang, afwan (maaf) bukan ingin memutus hubungan persaudaraan, tapi
kalau memang Akang belum siap untuk menikah lebih baik jangan terlalu
sering berhubungan walaupun hanya lewat telepon, sms, ym, facebook, dan
sejenisnya.
Aq berharap bisa memahami dengan bijak, apa yang Aq
sampaikan ini. Sekali lagi mohon Kang, kalo Aq harus ngomong lewat email
ini. Dan setelah Akang menerima email ini, jangan membalasnya dengan
telepon, sms atau ym, karena Aq tak sanggup untuk menyampaikannya. Lebih
baik kalo Akang berkenan untuk membalas, balas aja email ini dengan
email. Tapi jika tidak berkenan untuk membalasnya, juga nggak apa-apa.
Semoga, Akang menemukan jodoh yang terbaik sesuai dengan keinginan
Akang. Amin….
Wassallamualaikum,Jazakill
ah khoiron katsiro..
Dari (mantan) Adikmu
Inem